“Karena
kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan
baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya”. (Efesus 2:10).
Kita
seharusnya bangga karena Allah sengaja menghadirkan kita ke dunia untuk
melakukan kehendakNya yang mulia. Allah berprakarsa dan menyimpan maksud
atas hidup kita. Dan maksud itu tidak lain adalah supaya kita melakukan
yang baik menurut takaran yang Allah tentukan. Kita diciptakan oleh Allah yang
sama, tetapi kita memiliki kepribadian yang berbeda. Kepribadian yang berbeda
inilah yang menandakan kesungguhan Allah dalam menciptakan kita.
Jika
Allah tidak secara serius dalam menciptakan kita, maka Ia tidak akan
susah-susah mengukir kepribadian manusia sehingga kepribadian tersebut akan
sama atau paling tidak mirip antara yang satu dengan yang lain. Menciptakan
pribadi yang berbeda malah menyulitkan Allah sendiri. Kalau Allah tidak mau
repot-repot dalam menciptakan manusia, maka Ia akan membuat manusia berpribadi
sama dengan temperamen yang sama. Sebaliknya, apa yang ditemukan atau
diciptakan manusia cenderung menjadi suatu produk yang berkarakter dan
spesikfikasi yang sama. Akan tetapi, apapun keberbedaan kita, Allah
menghendaki supaya kita tetap mencerminkan citra Allah.
Kita harus mengenali diri kita sendiri.
Dalam
suratnya Kepada Jemaat di Efesus, Rasul Paulus menasihatkan supaya
setiap orang terus menghayati keberadaan dirinya sendiri bukannya bersusah
payah untuk menjadi sama seperti orang lain. Yang utama dari hal ini adalah
mengenal dirinya sendiri sebagai buatan
Allah yang diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik.
Mengenali diri sendiri juga berarti bahwa setiap orang percaya harus menyadari
kemampuan dan peranannya masing-masing.
Kristus
adalah kepala bagi jemaat sedangkan jemaat adalah tubuh yang memiliki berbagai
anggota. Allah berkehendak supaya anggota-anggota tubuh itu berfungsi dan
bergerak sebagaimana seharusnya mereka berperan di bawah kendali kepala. Kalau
para anggota tubuh misalnya tangan ingin menjadi seperti kaki dan sebaliknya,
pasti ada sesuatu yang salah dan akan mengakibatkan kesalahan pula. Yang harus
kita contoh dari orang lain adalah keteladanan dan sifat baik mereka, tetapi
itu tidak berarti bahwa kita harus menempatkan diri kita pada tempat dan
keadaan mereka.
Pandangan Kita atas diri kita haruslah
menurut ukuran Allah.
Pandangan
kita atas diri sendiri akan sangat mempengaruhi semua bidang kehidupan kita.
Kalau pandangan kita atas diri kita sendiri berdasarkan firman Tuhan, maka kita
akan menyadari bahwa kehidupan kita akan berharga bagiNya. Prinsip yang menjadi
standard dunia berkata bahwa nilai seseorang ditentukan oleh kekayaan, jabatan
atau pekerjaan orang itu Kalau jabatan atau pekerjaan berubah, nilai manusia
juga akan berubah. Karena itu, kalau kita mengikuti filsafat dunia
ini, nilai kita akan berubah setiap kali keadaan kita berubah. Dengan
demikian pandangan kita atas diri sendiri sangat tidak stabil.
Allah
mengasihi kita sebagaimana kita adanya, entah kita kaya atau miskin, pintar
atau tidak, kuat atau lemah. Nilai kita dihadapan-Nya tidak ditentukan
oleh perubahan yang terjadi dalam diri kita, atau di sekitar kita. Oleh
karena itu setiap orang percaya harus menerima diri kita sebagaimana
adanya sama seperti Allah yang selalu menghargai keberadaan kita.
Kita harus Menerima Diri Sendiri.
Setiap
orang diciptakan Allah secara unik dan masing-masing mempunyai kelebihan,
keterbatasan dan kekurangan masing-masing. Tidak ada seorang pun
yang sempurna selain Yesus! Sering kita membandingkan diri kita dengan orang
lain. Bila kita berbuat demikian, maka ada dua kemungkinan yang terjadi:
kita akan merasa lebih baik daripada orang lain sehingga kita menjadi sombong,
jauh dari rendah hati. Kemungkinan yang kedua adalah bahwa kita akan merasa
lebih rendah daripada orang lain sehingga kita kehilangan rasa harga diri. Mustahil
seseorang bisa sombong dan rendah hati pada saat yang sama. Ujung atau
kaitan langsung dari meninggikan diri sendiri adalah merendahkan orang lain. Rasa
puas dan bermegah dalam Kristus atas apa yang kita miliki atau atas apa yang
kita capai menimbulkan dorongan untuk semakin maju. Sebaliknya, kesombongan dan
rendah diri menjadikan kita makin mundur atau bahkan memundurkan sesama kita. (Soerjan-BM
Edisi 255 Jan-Maret 2003)