Kecintaan Pada Keluarga

Kecintaan kepada keluarga atau yang lebih spesifik kepada pasangan hidup bisa atau biasanya diawali dengan masa perkawanan dan kemudian meningkat pada masa pacaran, selanjutnya dua insan tersebut memasuki kehidupan berumah tangga. Harapan setiap orang yang terlibat di dalamnya adalah supaya keduanya termasuk anak-anak mereka tetap saling setia dalam ikatan keluarga tersebut. Ketentuan yang berlaku di beberapa sekolah tinggi Theologia adalah bahwa setiap mahasiswa hanya diijinkan berpacaran dengan sesama mahasiswa dalam kampus yang sama sebanyak satu kali. Putus sambung pacaran tetap diijinkan selama ia berpacaran dengan mahasiswa yang sama. Hal ini salah satunya dimaksudkan untuk mendorong mereka untuk lebih bersungguh dalam menilai urusan pasangan hidup.

Sepasang suami istri datang ke sebuah sumur keramat untuk meminta berkah dalam hidupnya. Pertama, sang suami melemparkan bunga tujuh rupa ke dalam sumur tersebut sambil komat-kamit membacakan doa dan keinginannya. Beberapa waktu kemudian giliran istrinya untuk melakukan seperti apa yang telah dilakukan sang suami, memanjatkan keinginan pada sumur keramat tersebut. Si istri begitu khusuk, menunduk begitu dalam sehingga ketika suaminya memegang pantatnya si istri justru jatuh ke dalam sumur dan mati tenggelam. "Wow, terkabul! Benar-benar sumur keramat," kata si suami spontan.
(kutipan dari www.kapanlagi.com/a/sumur-keramat.html)

Rupanya kisah di atas membuktikan betapa mahal dan langkanya untuk menemukan kecintaan kepada keluarga. Banyak orang yang mengalami kesulitan besar dalam memelihara kesetiaan. Diyakini bahwa kesulitan besar untuk menjadi setia menimbulkan kesulitan bagi orang lain yang seharusnya pantas dan layak mendapat kesetiaan dari mereka yang tidak setia.Intinya, ketidaksetiaan itu menimbulkan korban.

Memang tidak mudah menemukan pribadi yang setia. Bahkan sering kali orang mengutarakan keluhannya atas mutu kesetiaan sahabatnya. Mereka tidak gampang menerima keadaan saat mengetahui bahwa orang-orang dekat yang mereka kasihi justru menjadi orang yang mereka simpulkan sebagai orang yang telah mengkhianatinya. Itulah mengapa pemazmur sangat memberi perhatian dan keprihatinan tentang arti penting keberadaan orang yang dia sebut sebagai seorang sahabat. Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran. (Maz. 17:17). Tentu saja pemazmur merasa bahwa kehadiran sahabat sangat ia butuhkan di saat orang-orang dekatnya tidak peduli kepada keresahan hatinya.
Kembali kepada hal kesetiaan atas keluarga, kesetiaan bertipe ini juga disimpulkan sebagai sedang memudar. Semakin banyaknya peristiwa ketidaksetiaan juga sudah membuahkan diterbitkan banyak aturan formal (undang-undang) yag mengurusi urusan  yang sebenarnya menjadi urusan internal rumah tangga seseorang.

Dalam Alkitab kita bisa menemukan salah satu tokoh yang pantas diteladani. Dia adalah Yosua. Dia tidak hanya memiliki mutu kesetiaan yang tinggi dan dalam kepada bangsanya tapi juga pada keluarganya. Komitmennya dapat kita baca di ayat ini : Tetapi jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah; allah yang kepadanya nenek moyangmu beribadah di seberang sungai Efrat, atau allah orang Amori yang negerinya kamu diami ini. Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!" (Yosua 24:15).   
Ucapan itu selain merupakan tantangan Yosua kepada bangsanya, yakni tantangan supaya mereka tetap setia kepada Tuhan, juga menggambarkan ketegasan Yosua dalam memutuskan sesuatu untuk kebaikan keluarganya. Ia setia kepada keluarganya  oleh karena itu ia berprakarsa dan melakukan yang terbaik untuk keselamatan keluarganya dengan membawa keluarga tersebut pada kehidupan yang disertai hadirat Tuhan. Bisa kita bayangkan bahwa kalau itu merupakan tantangan kepada bangsanya, tentu saja erat dengan keadaan saat itu dimana makin banyak orang, tetangga, kerabat, rekan kerjanya yang secara tidak sadar menjauh dari Tuhan sehingga sangat dimunkinkan berakibat buruk kepada keluarga mereka. Hal itu yang dilihat Yosua dalam pengalaman hidupnya di tengah bangsanya yang sering plin-plan kepada Tuhan. Yosua menyadari bahwa tak seorangpun termasuk tak satu keluargapun akan luput dari hukuman Tuhan jika mereka tak bosan-bosannya mengabaikan Tuhan.

Akhirnya, tantangan Yosua kepada bangsanya untuk memutuskan sesuatu, juga mestinya menjadi tantangan bagi kita untuk berprakarsa dan mewujudkan kesetiaan dan kecintaan kepada keluarga kita. Moga kita senantiasa dimampukan olehNya dalam megupayakan kebaikan bagi keluarga kita, yakni kebaikan yang dikenanNya. Amin. God bless you and beloved family.
 
(Soerjan - Berita Mimbar Magazine)